Kemarahan adalah suatu respons emosi dan fisik akan rasa
tidak senang yang intens saat kita menjumpai sesuatu yang kita anggap
salah, tidak benar, atau tidak adil. Amarah dan rasa bersalah seharusnya
membawa pertobatan dan pengampunan yang menyegarkan. Namun, terkadang
kita berkubang dalam rasa bersalah dan mengarahkan amarah kita ke dalam.
Apa pun sumber amarah yang kita rasakan terhadap diri
sendiri, kita harus belajar memprosesnya secara membangun. Eksplosi dan
implosi [respons kemarahan yang dipendam dan tidak dilampiaskan secara
eksternal - Red.] adalah kekuatan-kekuatan negatif yang bisa kita
tujukan kepada diri sendiri. Kita bisa meledak dan mencaci maki diri
sendiri secara pribadi atau bersama orang lain. Semburan kata-kata itu
bisa berlanjut menjadi tindakan kekerasan fisik: menarik-narik rambut,
mencakari diri sendiri, membentur-benturkan kepala ke dinding/lantai,
menyayat tubuh dengan benda tajam, bahkan mencoba bunuh diri.
Di sisi lain, ada juga yang melakukan implosi setiap
kali menyerang diri sendiri secara mental dan diam-diam. Di luar
terlihat tenang, tetapi di dalam hati seseorang murka terhadap diri
sendiri. Terkadang, pikiran-pikiran yang muncul pun sangat mengutuk.
Padahal, cercaan internal ini biasanya menimbulkan efek yang
menghancurkan terhadap tubuh dan membawa masalah-masalah fisik yang
biasanya diasosiasikan dengan sistem pencernaan dan syaraf dalam tubuh.
Karena itu, eksplosi atau implosi bukanlah respons yang sehat terhadap
amarah yang difokuskan kepada diri sendiri. Jadi, bagaimana kita bisa
menangani konflik internal - amarah terhadap diri sendiri - ini secara
membangun ?
-
Akui kemarahan kita. Akuilah kemarahan, pikiran, dan perasaan kita terhadap Allah, diri sendiri, teman yang dipercaya, anggota keluarga, konselor, dan pendeta. Ekspresikan sejelas mungkin apa yang kita pikirkan dan rasakan.
-
Uji amarah kita. Amarah terhadap diri sendiri mungkin bisa merupakan amarah yang definitif atau terdistorsi. Amarah definitif artinya amarah kita keluar dari kesalahan yang benar-benar kita lakukan, sedangkan amarah terdistorsi artinya amarah yang muncul dari sesuatu yang dianggap salah, ketimbang kesalahan yang sesungguhnya. Keduanya perlu diproses untuk mengetahui jenis amarah yang kita hadapi. Kasus Seth berbeda dengan kasus seorang suami yang berselingkuh. Kasus yang kedua itu adalah tindakan amoral, dan amarahnya definitif. Sedangkan yang Seth lakukan bukan sesuatu yang amoral, tetapi kecerobohan. Untuk menolong Seth, kita bisa sarankan agar dia mengakui kecerobohannya dan memohon ampun kepada Tuhan, dan tidak mengulanginya lagi. Dengan berdoa, Seth telah menangani amarahnya dengan cara yang positif walaupun ibu jarinya masih berdenyut-denyut. Sementara suami yang berselingkuh memiliki masalah yang jauh lebih besar untuk ditangani. Ia merasa marah terhadap dirinya sendiri dan amarahnya definitif, muncul dari kesalahan moral. Bersama amarahnya, ia mungkin juga merasa bersalah, rendah, dan malu. Ini merupakan perasaan normal dan bisa diperkirakan saat seseorang melanggar prinsip-prinsip moral. Ia merasa bersalah karena ia bersalah, ia merasa rendah karena ia melakukan sesuatu yang memalukan, ia malu karena orang lain mengetahui tindakannya yang penuh dosa. Amarahnya terhadap dirinya sendiri nyata dan harus diproses. Ia pun harus mengakui kesalahannya di depan Tuhan dan istri, dan berusaha memulihkan kepercayaan istrinya kepadanya.
-
Akui perbuatan yang salah kepada Allah dan terimalah pengampunan-Nya (1 Yohanes 1:9). Allah mengasihi kita dan ingin memiliki persekutuan dengan kita. Namun, karena Dia kudus, dosa kita memecahkan persekutuan itu. Dia harus memperlakukan kita sebagai anak-anak yang tidak taat. Ini artinya Dia akan menegur dan mendisiplin kita (Ibrani 12:5-11). Ketika kita mengakui dosa-dosa kita, Ia mau mengampuni dosa-dosa kita sepenuhnya. Itulah inti dari salib Kristus. Dia mengambil hukuman atas dosa-dosa kita sehingga Allah bisa mengampuni kita dan masih tetap adil. Bagian kita adalah mengakui kesalahan, menerima pengampunan-Nya, dan menerima pemurnian-Nya sehingga kita bisa menikmati persekutuan kembali dengan-Nya (Kisah Para Rasul 24:16). Kita mengosongkan hati nurani kita dari rasa bersalah kepada Allah dengan mengaku kepada Allah, dan kita mengosongkan hati nurani kita terhadap manusia dengan mengaku salah kepada orang yang kepadanya kita bersalah. Pertobatan terhadap dosa yang sejati selalu disertai dengan keinginan untuk mengakui kesalahan kita dan melakukan pemulihan dengan mereka yang kepadanya kita bersalah. Pengakuan merupakan langkah pertama dalam melakukan pemulihan (Lukas 19:8-9).
-
Ampunilah diri kita sendiri. Mengampuni orang lain berarti tidak lagi menyimpan dosanya. Kita menerimanya kembali seolah-olah dia tidak pernah berdosa, dan Anda berusaha terus membangun relasi dengannya. Pengampunan memungkinkan kita berkomunikasi lagi, saling mendengarkan dengan suatu pandangan untuk memahami. Pengampunan tidak selalu menghilangkan rasa terluka, sakit, atau kenangan akan perbuatan salah. Pengampunan tidak mengizinkan hal-hal ini menghalangi relasinya. Dengan berjalannya waktu, ini akan sembuh. Pengampunan juga tidak menghilangkan semua akibat dosa, tidak secara otomatis memulihkan rasa percaya. Rasa percaya itu harus dibangun kembali oleh orang bertobat. Dengan mengampuni, pemulihan terjadi. Kita dapat mengampuni diri sendiri lewat doa dan membiarkan Allah menyaksikan pengampunan diri kita sendiri.
-
Fokus pada tindakan-tindakan yang positif. Dari setiap peristiwa yang kita lalui, kita belajar dari kegagalan-kegagalan. Tuhan turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Roma 8:28), bagian kita adalah bekerja sama dengan-Nya. Kita harus mengubah hal-hal yang membuat kita jatuh dalam dosa dan lingkungan yang dapat menarik kita kembali kepada perbuatan dosa dengan membaca buku, menghadiri seminar-seminar, berbicara dengan teman, atau berkonseling dengan pendeta.
Dalam tindakan positif, kasih adalah dasar terbesar.
"Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus." (Roma
5:5) Mengasihi merupakan gaya hidup Allah, sentral dalam keinginan Allah
bagi kita (Yohanes 13:34-35). Saat kasih kita benar-benar tidak
bersyarat dan diekspresikan dalam tindakan, kita melakukan hal yang
paling besar kuasanya. Kini, kita telah diampuni Allah, orang lain, diri
sendiri, dan siap menghadapi masa depan dengan penuh harapan.
Sebagian besar orang mengalami konflik dengan dirinya sendiri, termasuk
marah terhadap diri sendiri. Ada yang marah terhadap diri sendiri karena
menganggap dirinya telah melakukan kesalahan, bertindak ceroboh, bodoh,
tidak baik, atau tidak bertanggung jawab sehingga pikirannya
menyalahkan diri sendiri (seperti kasus Seth). Selain itu, ada juga
orang-orang yang menjadi marah terhadap diri sendiri karena merasa tidak
memenuhi apa yang sebenarnya dapat mereka lakukan. Orang-orang semacam
itu berpikir bahwa ketika mereka tidak melakukan yang terbaik, berarti
mereka tidak bisa diampuni. Karena itu, mereka marah terhadap diri
sendiri karena prestasi mereka yang buruk. Bahkan, bagi beberapa orang,
area yang membuat mereka paling marah terhadap diri sendiri adalah saat
mereka melanggar nilai-nilai yang dipegangnya kuat-kuat. Amarah terhadap
diri sendiri atas kegagalan moral atau etis diri sendiri sering kali
disertai rasa bersalah.
Sumber : -
|
: | Anger |
|
: | Anger - Mengatasi Amarah dengan Cara yang Sehat |
|
: | Gary Chapman |
|
: | Lily Endang Joeliani |
|
: | PT. Visi Anugerah Indonesia, Bandung 2010 |
|
: | 207 - 221 |