"Tuhan tidak tertarik pada seberapa besar panggung kita, tapi seberapa dalam ketaatan kita."Pelayanan bukan soal siapa yang terlihat, tapi siapa yang setia walau tak dilihat.
"Sebab Allah tidak memandang muka." – Galatia 2:6
Ada satu hal yang semakin saya sadari dalam perjalanan pelayanan: persaingan bisa muncul bahkan di tengah ladang Tuhan.
Kita tidak sedang bicara soal kompetisi duniawi—tapi sesuatu yang lebih halus, lebih tersembunyi. Munculnya rasa membandingkan diri dengan pelayan lain. Munculnya pertanyaan seperti:
- Kenapa dia lebih sering dipanggil pelayanan?
- Kenapa pelayanan mereka lebih dikenal?
- Apakah saya kurang berkenan di mata Tuhan?
Tanpa sadar, hati mulai goyah. Yang tadinya melayani karena cinta, bisa berubah menjadi melayani untuk diakui.
MELIHAT KEMBALI FIRMAN: ALLAH TIDAK MEMANDANG MUKA
Ketika Paulus menulis Galatia 2, dia menceritakan bagaimana dia bertemu para rasul besar di Yerusalem—Petrus, Yakobus, Yohanes. Mereka adalah “pilar” gereja mula-mula. Tapi menariknya, Paulus mengatakan:
Dengan kata lain: kedudukan, ketenaran, atau reputasi manusia tidak menggoyahkan otoritas dari Allah. Bahkan Paulus, yang tidak termasuk "rasul asli", tahu bahwa panggilannya sah di hadapan Tuhan.“Mereka yang dianggap sebagai sesuatu — bagaimana keadaan mereka dahulu tidak penting bagiku, sebab Allah tidak memandang muka — orang-orang terpandang itu tidak memaksakan sesuatu pun kepadaku.” (Galatia 2:6)
Tuhan tidak terkesan dengan "posisi". Tuhan tidak tertarik pada siapa yang paling banyak diundang atau paling ramai disorot.
Tuhan menilai hati. Tuhan melihat kesetiaan.
KETIKA PELAYANAN JADI PANGGUNG
Hari ini, banyak pelayan Tuhan yang bekerja sungguh-sungguh—tapi di saat yang sama, merasa tertekan oleh standar yang tak terlihat: dikenal dan mengenal, disukai dan menyukai, diakui dan mengakui.
Saya tidak bilang bahwa dikenal, disukai, diakui itu salah. Tapi saat identitas kita dalam pelayanan ditentukan oleh seberapa besar kita "dipakai" menurut ukuran manusia, kita sudah mulai kehilangan arah.
Pelayanan bukan ajang pembuktian diri. Pelayanan bukan arena kompetisi.
Itu adalah undangan untuk melayani dalam ketaatan, meski dalam sunyi. Untuk setia melayani, meski tanpa sorotan.
AKHIRNYA, KITA YANG AKAN DIPERIKSA HATI
Suatu hari, kita semua akan berdiri di hadapan Tuhan. Dia tidak akan bertanya:
“Berapa besar pelayananmu?”
“Berapa banyak pengikutmu?”
Tapi Dia akan melihat dan bertanya:
“Apakah engkau setia? - Apakah engkau taat?”
Dan saya percaya, yang setia dalam hal kecil, yang tidak tergoda membandingkan, yang melayani karena kasih dan bukan gengsi — mereka akan mendengar kata-kata paling indah:
“Baik sekali, hai hambaku yang baik dan setia.”
PENUTUP
Mari kita kembali ke hati. Kembali ke alasan kita pertama kali melayani.
- Bukan untuk dilihat orang.
- Bukan untuk menyaingi siapa pun.
- Tapi karena kita mengasihi Dia — Sang Tuan yang tidak memandang muka.
"Tuhan tak terpikat pada sorot lampu,
Ia mencari jiwa yang setia di balik tirai sepi.
Bukan nama yang diagungkan,
tapi hati yang rela tunduk — tanpa perlu disorot."