Dalam
Perjanjian Lama, hukum Musa mengatur perceraian dengan cara yang memberikan
beberapa perlindungan hukum bagi pihak yang diceraikan, seperti tercantum dalam
Ulangan 24:1-4. Meskipun hukum ini memperbolehkan perceraian, ia juga
mencerminkan kompromi karena kekerasan hati manusia, seperti yang dijelaskan
oleh Yesus dalam Matius 19:8. Yesus menegaskan bahwa pada awalnya Allah tidak
menghendaki perceraian, dan Dia hanya mengizinkan perceraian dalam kasus
perzinaan (Matius 19:9).
Rasul
Paulus dalam Perjanjian Baru juga memberikan nasihat tentang perceraian,
terutama dalam konteks pasangan yang salah satu anggotanya tidak percaya (1
Korintus 7:12-15). Secara keseluruhan, ajaran Alkitab mengenai perceraian
menekankan pentingnya kesetiaan, pengampunan, dan upaya rekonsiliasi.
Perceraian adalah solusi terakhir setelah semua upaya untuk menyelamatkan pernikahan
telah dilakukan. Pandangan Alkitab tentang perceraian mengajak umat Kristen
untuk menghormati dan menjaga kesucian pernikahan, sambil juga menyediakan
kerangka kerja yang penuh kasih untuk menghadapi realitas kesulitan dalam
kehidupan pernikahan.
Selanjutnya
saya ajak anda untuk melihat lebih mendalam melalui beberapa poin dibawah ini:
A.
KESUCIAN DAN KEKUDUSAN
PERNIKAHAN
Kesucian
dan kekudusan pernikahan adalah konsep penting dalam Alkitab yang menekankan
bahwa pernikahan adalah institusi yang diciptakan dan diatur oleh Tuhan.
Pernikahan bukan hanya kontrak sosial atau kesepakatan antara dua individu,
tetapi merupakan perjanjian kudus yang melibatkan Tuhan sebagai saksi utama.
Saya akan menjelaskan lebih mendalam mengenai makna dari kesucian dan kekudusan
pernikahan:
1)
Kesatuan yang Kudus
Kejadian
2:24: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya
dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging."
Ayat
ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah suatu proses di mana dua individu yang
sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan. Ini bukan hanya kesatuan fisik,
tetapi juga emosional, spiritual, dan moral. Dalam pandangan Alkitab, suami dan
istri menjadi satu daging, yang menggambarkan tingkat kedekatan dan komitmen yang
sangat dalam.
2)
Perjanjian yang Kudus
Matius 19:6: "Apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Yesus mengajarkan bahwa
pernikahan adalah tindakan Allah. Karena itu, ikatan pernikahan bukan sekadar
keputusan manusia, tetapi pekerjaan Allah. Pernikahan dipandang sebagai
perjanjian kudus yang dibuat di hadapan Allah dan disaksikan oleh-Nya. Ini
berarti bahwa pernikahan harus dihormati dan dijaga dengan serius, karena
mengingkari perjanjian ini sama dengan melawan kehendak Allah.
3)
Kesucian dan Kekudusan
Kesucian dalam konteks ini
berarti bahwa pernikahan harus diperlakukan dengan hormat dan kehormatan. Ini
mengimplikasikan bahwa hubungan suami istri harus dijalani dengan integritas,
kesetiaan, dan kasih yang tulus. Hubungan ini tidak boleh dicemari oleh
tindakan-tindakan yang tidak pantas seperti perzinaan, kebohongan, atau
kekerasan.
Kekudusan berarti bahwa
pernikahan adalah sesuatu yang dikhususkan untuk tujuan-tujuan ilahi.
Pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan dan kepuasan pribadi, tetapi juga
tentang memenuhi panggilan dan tujuan yang lebih besar yang Tuhan tetapkan
untuk keluarga dan masyarakat. Melalui pernikahan, suami dan istri dipanggil
untuk mencerminkan kasih, kesetiaan, dan pengampunan Tuhan kepada dunia.
4)
Komitmen Seumur Hidup
Pernikahan
dalam Alkitab dilihat sebagai komitmen seumur hidup. Ini bukan hubungan
sementara atau coba-coba, tetapi sebuah janji untuk bersama dalam suka dan
duka, dalam kelimpahan dan kekurangan. Komitmen ini mencerminkan kasih setia
Tuhan yang tidak berubah terhadap umat-Nya.
5)
Cerminan Hubungan Kristus dan
Gereja
Dalam Efesus 5:25-32, Paulus
mengajarkan bahwa hubungan antara suami dan istri harus mencerminkan hubungan
antara Kristus dan gereja. Suami dipanggil untuk mengasihi istrinya seperti
Kristus mengasihi gereja, dan istri dipanggil untuk menghormati suaminya. Ini
menekankan aspek pengorbanan, pelayanan, dan kasih tanpa syarat dalam
pernikahan.
Jadi,
Kesucian dan kekudusan pernikahan dalam pandangan Alkitab adalah konsep yang
mendalam dan bermakna. Pernikahan dilihat sebagai perjanjian kudus yang tidak
boleh dipisahkan oleh manusia, suatu kesatuan yang diciptakan oleh Allah, dan
sebuah komitmen seumur hidup yang mencerminkan kasih setia Tuhan. Suami dan
istri dipanggil untuk menghormati dan menjaga pernikahan mereka dengan
kesetiaan, kasih, dan pengampunan, serta menjadikannya cerminan dari hubungan
Kristus dengan gereja.
B.
PERCERAIAN DALAM PERJANJIAN
LAMA
Dalam
Perjanjian Lama, perceraian diatur secara eksplisit dalam hukum Musa, terutama
dalam kitab Ulangan 24:1-4. Ayat-ayat ini memberikan kerangka hukum untuk
perceraian dan menetapkan beberapa aturan penting mengenai proses dan
konsekuensi perceraian.
1.
Ulangan 24:1-4
"Apabila
seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, kemudian terjadi
bahwa perempuan itu tidak menyenangkan hatinya karena ia mendapat sesuatu yang
tidak baik padanya, maka haruslah ia menulis surat cerai, menyerahkannya ke
tangan perempuan itu, dan menyuruhnya pergi dari rumahnya."
"Dan jika perempuan itu
keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain,"
"dan
jika suami yang kemudian itu juga tidak menyukai dia dan menulis surat cerai
kepadanya, menyerahkannya ke tangan perempuan itu, dan menyuruhnya pergi dari
rumahnya, atau jika suami yang kemudian itu mati,"
"maka
suami yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi, tidak boleh mengambilnya
kembali menjadi isterinya, sesudah ia dinajiskan; sebab hal itu adalah kekejian
di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan
TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu."
2.
Penjelasan Ayat
a)
Dasar
Perceraian
Dalam
ayat 1, seorang suami dapat menceraikan istrinya jika "ia mendapati
sesuatu yang tidak baik padanya" yang bisa diartikan sebagai alasan yang
membuatnya tidak menyukai istrinya lagi. Ini menunjukkan adanya beberapa
kebebasan bagi suami untuk menentukan alasan perceraian.
b)
Surat
Cerai
Untuk
melaksanakan perceraian, suami harus memberikan surat cerai kepada istrinya.
Ini adalah dokumen resmi yang mengakui bahwa pernikahan telah berakhir.
Pemberian surat cerai juga berfungsi untuk melindungi perempuan tersebut dengan
memberikan bukti sah bahwa ia tidak lagi terikat dalam pernikahan.
c)
Larangan
untuk Menikahi Kembali
Ayat
4 melarang suami pertama untuk menikahi kembali istrinya yang telah diceraikan
jika istrinya telah menikah lagi dengan orang lain. Pernikahan ulang dengan
suami pertama dianggap sebagai "kekejian
di hadapan Tuhan" dan tidak diizinkan.
3.
Alasan
Hukum ini memberikan beberapa
wawasan penting tentang bagaimana perceraian dipahami dan diatur dalam konteks
masyarakat Israel kuno
a)
Perlindungan
bagi Perempuan
Meskipun
perceraian diperbolehkan, proses hukum yang terlibat (seperti pemberian surat
cerai) memberikan perlindungan bagi perempuan. Ini menghindari situasi di mana
perempuan dapat ditinggalkan tanpa pengakuan resmi dari perceraian.
b)
Keadilan
dan Kepastian
Hukum
ini memberikan struktur dan kejelasan dalam kasus perceraian, sehingga mencegah
penyalahgunaan atau ketidakpastian hukum.
4.
Penjelasan Yesus dalam Matius
19:8
Dalam Matius 19:8, Yesus
menjelaskan bahwa ketentuan tentang perceraian dalam hukum Musa diberikan
karena "kekerasan hati" manusia, bukan karena itu adalah kehendak
Allah yang ideal. Ayat tersebut adalah:
"Karena ketegaran hatimu
Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah
demikian."
Yesus mengindikasikan bahwa
hukum perceraian ini adalah kompromi yang diizinkan Allah karena kekerasan hati
manusia. Idealnya, Allah menginginkan pernikahan menjadi ikatan yang tak terpisahkan.
Yesus menegaskan kembali bahwa pernikahan adalah rencana Allah yang sempurna,
dan perceraian merupakan penyimpangan dari rencana ini yang diizinkan karena kondisi
manusia yang keras hati.
Dengan demikian Perceraian dalam Perjanjian
Lama diatur untuk memberikan kejelasan hukum dan perlindungan dalam masyarakat
Israel kuno. Meskipun diizinkan, perceraian diatur dengan batasan tertentu
untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan individu yang terlibat. Namun,
penjelasan Yesus dalam Perjanjian Baru menunjukkan bahwa hukum ini merupakan
respons terhadap kekerasan hati manusia, dan bukan cerminan dari kehendak Allah
yang sempurna mengenai pernikahan. Ajaran ini mengingatkan umat Kristen tentang
pentingnya menjaga kesucian dan kekudusan pernikahan sesuai dengan rencana
Allah.
C.
PENGAJARAN YESUS TENTANG
PERCERAIAN
Yesus
Kristus memberikan pengajaran yang sangat penting mengenai perceraian, yang
tercatat dalam Injil Matius 19:3-9 dan Markus 10:2-12. Dalam pengajaran ini,
Yesus memperketat aturan mengenai perceraian dibandingkan dengan ketentuan yang
ada dalam hukum Musa. Berikut adalah penjelasan mendalam tentang pengajaran
Yesus mengenai perceraian:
1) Latar Belakang Pengajaran
Yesus
Dalam Matius 19:3-9, Yesus
didekati oleh orang-orang Farisi yang mencoba mencobai Dia dengan menanyakan
apakah diperbolehkan menceraikan isteri dengan alasan apa saja. Pertanyaan ini
bertujuan untuk menguji pemahaman Yesus tentang hukum Musa yang memperbolehkan
perceraian.
2) Pernyataan Awal Yesus
Yesus memulai tanggapannya
dengan mengingatkan kembali kepada penciptaan manusia dan institusi pernikahan
yang ditetapkan oleh Allah. Dia mengutip Kejadian 1:27 dan Kejadian 2:24,
menekankan bahwa sejak awal Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan
perempuan, dan dalam pernikahan, keduanya menjadi satu daging. Yesus menegaskan
bahwa pernikahan adalah persatuan yang kudus dan tidak boleh dipisahkan oleh
manusia:
"Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia"
(Matius 19:6).
3) Alasan Perceraian yang
Diperbolehkan
Dalam Matius 19:9, Yesus
memberikan satu pengecualian terhadap larangan perceraian:
"Tetapi
Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah,
lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."
Yesus memperbolehkan perceraian
hanya dalam kasus perzinaan (kecurangan seksual). Ini menunjukkan bahwa
perzinaan adalah pelanggaran serius terhadap ikatan pernikahan, yang merusak
kesucian dan kesetiaan dalam pernikahan.
4) Penegasan Kesetiaan dan
Komitmen
Dengan memperketat aturan mengenai
perceraian, Yesus menekankan betapa pentingnya kesetiaan dan komitmen dalam
pernikahan. Pernikahan bukanlah ikatan yang bisa diputuskan dengan mudah
berdasarkan keinginan atau ketidakpuasan pribadi. Pernikahan adalah perjanjian
yang kudus di hadapan Allah, yang mengharuskan kedua belah pihak untuk setia
satu sama lain.
5) Konsekuensi Perceraian Tanpa
Alasan yang Sah
Yesus juga menjelaskan
konsekuensi dari perceraian tanpa alasan yang sah (perzinaan). Seseorang yang
menceraikan pasangannya dan menikah lagi tanpa alasan yang sah dianggap berbuat
zinah. Ini menegaskan betapa seriusnya pandangan Yesus tentang kesucian
pernikahan dan kesetiaan yang harus dijaga dalam ikatan pernikahan.
6) Perspektif Hukum Musa
Yesus juga menyebutkan bahwa
hukum Musa memperbolehkan perceraian karena kekerasan hati manusia (Matius
19:8). Namun, dari awal penciptaan, itu bukanlah maksud Allah. Yesus
mengarahkan kembali kepada maksud Allah yang asli mengenai pernikahan sebagai
ikatan yang tidak dapat dipisahkan.
Pengajaran
Yesus tentang perceraian menekankan pentingnya kesucian, kesetiaan, dan
komitmen dalam pernikahan. Dengan memperketat aturan mengenai perceraian dan
hanya memperbolehkannya dalam kasus perzinaan, Yesus menegaskan bahwa
pernikahan adalah perjanjian yang kudus di hadapan Allah dan tidak boleh
diputuskan dengan sembarangan. Ini menunjukkan betapa seriusnya pandangan Yesus
tentang pernikahan dan komitmen yang harus dijaga oleh setiap pasangan.
D.
PANDANGAN PAULUS
Rasul
Paulus memberikan panduan tentang pernikahan dan perceraian dalam 1 Korintus
7:10-15. Pandangan Paulus ini memberikan wawasan penting mengenai bagaimana
pasangan Kristen harus mendekati isu perceraian, terutama dalam konteks di mana
salah satu pasangan mungkin tidak beriman. Berikut adalah penjelasan lebih rinci
mengenai pandangan Paulus:
1) Instruksi kepada Pasangan
Kristen (1 Korintus 7:10-11)
Paulus memulai dengan
memberikan perintah yang dia nyatakan berasal langsung dari Tuhan:
"Kepada
orang-orang yang telah kawin aku – bukan aku, melainkan Tuhan – perintahkan,
supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan
suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau
berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan
isterinya."
Paulus menekankan bahwa
pasangan Kristen tidak boleh bercerai. Jika perceraian terjadi, mereka harus
tetap hidup tanpa menikah lagi atau berdamai dengan pasangan mereka. Ini
menunjukkan komitmen kuat terhadap keutuhan pernikahan dan usaha untuk
rekonsiliasi.
2) Instruksi kepada Pasangan yang
Tidak Percaya (1 Korintus 7:12-14)
Paulus kemudian memberikan
nasihat untuk situasi di mana salah satu pasangan tidak percaya kepada Kristus:
"Kepada
orang lain aku, bukan Tuhan, berkata: jika ada seorang saudara beristri dengan
perempuan yang tidak beriman, dan perempuan itu bersedia hidup bersama-sama
dengan dia, janganlah ia menceraikan perempuan itu. Dan jika ada seorang isteri
bersuamikan laki-laki yang tidak beriman, dan laki-laki itu bersedia hidup
bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami
yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya, dan istri yang tidak beriman
itu dikuduskan oleh suaminya. Jika tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah
najis, tetapi sekarang mereka adalah kudus."
Paulus menekankan pentingnya
menjaga pernikahan bahkan jika salah satu pasangan tidak percaya, selama
pasangan yang tidak percaya bersedia untuk tetap hidup bersama. Kehadiran
pasangan yang percaya membawa pengaruh pengudusan dalam keluarga tersebut, yang
mencakup pasangan dan anak-anak mereka.
3) Ketentuan untuk Perceraian
jika Pasangan yang Tidak Percaya Ingin Berpisah (1 Korintus 7:15)
Paulus juga memberikan
instruksi untuk situasi di mana pasangan yang tidak percaya ingin bercerai:
"Tetapi
kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarkanlah ia bercerai; dalam
hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat; Allah memanggil kamu
untuk hidup dalam damai sejahtera."
Jika pasangan yang tidak
percaya memilih untuk bercerai, Paulus mengatakan bahwa pasangan yang percaya
tidak terikat untuk mempertahankan pernikahan tersebut. Paulus menekankan bahwa
Allah memanggil orang percaya untuk hidup dalam damai. Dalam konteks ini,
perdamaian lebih diutamakan, dan pasangan yang percaya tidak perlu merasa
bersalah atau terikat untuk mempertahankan pernikahan jika pasangan yang tidak
percaya ingin berpisah.
Jadi, Pandangan
Paulus mengenai perceraian dalam 1 Korintus 7:10-15 menekankan beberapa poin
kunci:
a) Komitmen terhadap Pernikahan:
Pasangan Kristen harus berusaha keras untuk tidak bercerai dan mencari
rekonsiliasi jika terjadi perpisahan.
Pentingnya Kesetiaan: Pasangan
yang percaya harus tetap setia dalam pernikahan mereka, bahkan jika pasangan
mereka tidak beriman, selama pasangan yang tidak beriman bersedia untuk tetap
bersama.
b) Perdamaian sebagai Prioritas:
Jika pasangan yang tidak percaya memilih untuk bercerai, pasangan yang percaya
tidak terikat dan harus berusaha hidup dalam damai, menekankan bahwa perdamaian
dan ketenangan batin adalah prioritas.
Dengan demikian, Paulus
memberikan panduan yang penuh kasih dan bijaksana untuk mengatasi tantangan
dalam pernikahan, baik bagi pasangan yang keduanya percaya maupun yang memiliki
perbedaan iman.
E.
PENGAMPUNAN DAN REKONSILIASI
Salah
satu prinsip utama dalam Alkitab adalah pengampunan dan rekonsiliasi. Efesus
4:32 berbunyi, "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,
penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus
telah mengampuni kamu." Ayat ini menekankan pentingnya sikap ramah, kasih
mesra, dan pengampunan di antara sesama orang percaya, yang juga sangat relevan
dalam konteks pernikahan.
1. Pengampunan dalam Pernikahan
Pengampunan adalah dasar
penting dalam setiap hubungan, termasuk dalam pernikahan. Pernikahan menyatukan
dua individu yang tidak sempurna dan rentan melakukan kesalahan satu sama lain.
Ketika konflik atau pelanggaran terjadi, pengampunan menjadi kunci untuk
memulihkan hubungan. Pengampunan menurut Alkitab bukan hanya tentang melupakan
kesalahan, tetapi tentang melepaskan dendam dan memilih untuk memberikan kasih
karunia.
Pengampunan dalam pernikahan
melibatkan beberapa langkah:
a) Mengakui Kesalahan: Kedua pasangan
harus bersedia mengakui kesalahan mereka dan meminta maaf dengan tulus.
b) Mengampuni dengan Tulus:
Pengampunan harus diberikan dengan hati yang tulus, tanpa menyimpan dendam.
c) Memaafkan Berulang Kali: Yesus
mengajarkan untuk mengampuni berkali-kali, sebagaimana dalam Matius 18:21-22,
yang mengindikasikan pentingnya kesabaran dan kelapangan hati dalam
pengampunan.
2. Rekonsiliasi dalam Pernikahan
Rekonsiliasi adalah proses
memulihkan hubungan setelah terjadi konflik atau pelanggaran. Rekonsiliasi
lebih dari sekadar menyelesaikan pertengkaran; ini tentang membangun kembali
kepercayaan dan komitmen yang mungkin telah rusak. Dalam konteks pernikahan,
rekonsiliasi membutuhkan usaha bersama dari kedua belah pihak untuk memperbaiki
dan memperkuat ikatan mereka.
Langkah-langkah rekonsiliasi
meliputi:
a) Komunikasi yang Jujur:
Pasangan harus berbicara secara terbuka dan jujur tentang perasaan dan masalah
mereka.
b) Mencari Pemahaman: Mencoba
memahami perspektif dan perasaan pasangan dapat membantu mengurangi ketegangan
dan menciptakan empati.
c) Mengambil Tindakan untuk
Perubahan: Kedua pasangan harus bersedia membuat perubahan yang diperlukan
untuk mencegah konflik yang sama terjadi di masa depan.
d) Membangun Kembali Kepercayaan:
Rekonsiliasi melibatkan upaya untuk membangun kembali kepercayaan yang mungkin
telah hilang, melalui konsistensi dan komitmen untuk saling menghormati dan
mendukung.
3. Pentingnya Pengampunan dan
Rekonsiliasi
Pengampunan dan rekonsiliasi
sangat penting dalam pernikahan karena:
a) Mencerminkan Kasih Kristus: Seperti
yang dinyatakan dalam Efesus 4:32, kita dipanggil untuk mengampuni sebagaimana
Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita. Ini berarti bahwa kasih,
pengampunan, dan rekonsiliasi yang kita tunjukkan dalam pernikahan kita
mencerminkan kasih dan pengampunan Tuhan.
b) Menjaga Keutuhan Pernikahan:
Mengampuni dan mencari rekonsiliasi membantu menjaga keutuhan dan stabilitas
pernikahan, menghindari perceraian yang seringkali membawa dampak negatif baik
bagi pasangan maupun anak-anak.
c) Membangun Hubungan yang Lebih
Kuat: Melalui pengampunan dan rekonsiliasi, pasangan dapat mengatasi konflik
dengan cara yang membangun hubungan mereka menjadi lebih kuat dan lebih sehat.
Dalam
perspektif Alkitab, pengampunan dan rekonsiliasi adalah elemen penting yang
harus diterapkan dalam pernikahan. Suami dan istri dipanggil untuk saling
mengampuni dan mencari rekonsiliasi, mencerminkan kasih Kristus dalam hubungan
mereka. Dengan mengutamakan pengampunan dan rekonsiliasi, pasangan dapat
menghadapi tantangan pernikahan dengan kasih, kesabaran, dan komitmen yang kuat
untuk mempertahankan keutuhan pernikahan mereka.
KESIMPULAN
Dari perspektif
Alkitab, perceraian bukanlah pilihan pertama atau yang diinginkan oleh Tuhan.
Pernikahan dianggap sebagai ikatan suci yang direncanakan oleh Tuhan untuk
menjadi tempat di mana kasih, kesetiaan, dan pengampunan dipraktikkan. Kesucian
pernikahan merupakan prinsip utama yang dijunjung tinggi dalam Alkitab,
menggambarkan kesetiaan Kristus terhadap gereja-Nya.
Kesetiaan dalam
pernikahan dipandang sebagai cerminan dari kesetiaan Kristus terhadap umat-Nya.
Sebagaimana Yesus mengasihi gereja-Nya tanpa syarat, pasangan Kristen dipanggil
untuk meneladani kasih-Nya dalam pernikahan mereka. Pengampunan juga
ditekankan, mengingat pengampunan Allah kepada kita melalui Kristus. Ketika
pasangan saling mengampuni, mereka mencerminkan karakter Allah dan membangun
fondasi yang kokoh bagi hubungan mereka.
Namun,
dalam realitas kehidupan yang penuh dengan kesalahan dan kelemahan manusia,
perceraian kadang-kadang terjadi. Dalam kasus perceraian, penting bagi gereja
dan komunitas Kristen untuk memberikan dukungan, pemahaman, dan kasih sayang
kepada pasangan yang terlibat. Namun, sambil memberikan dukungan ini, perlu
juga menekankan pentingnya penyembuhan dan rekonsiliasi. Proses pemulihan
pasangan dan pemulihan hubungan perlu didorong, dengan fokus pada pemulihan spiritual,
emosional, dan mental.
Dengan
demikian, kesimpulannya adalah bahwa perceraian diizinkan dalam keadaan
tertentu, tetapi tidak diinginkan oleh Tuhan. Kesucian pernikahan, kesetiaan,
pengampunan, dan rekonsiliasi adalah prinsip-prinsip yang harus dijunjung
tinggi oleh setiap pasangan Kristen. Ketika perceraian terjadi, penting bagi
gereja dan komunitas Kristen untuk memberikan dukungan sambil mendorong penyembuhan
dan rekonsiliasi, sehingga kasih dan kebaikan Allah dapat dinyatakan dalam
kehidupan pasangan yang terkena dampak perceraian.