APAKAH ANDA SIAP MENGHADAPI KRISIS ?
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! (Roma 12:12)
Gereja hadir dalam masa
krisis sebanyak gereja hadir dalam persoalan-persoalan hidup yang
ringan. Jadi, penting bagi staf dan para pemimpin utama untuk bersiap
menghadapi krisis sebelum hal itu terjadi. Para pemimpin dapat
mempersiapkan hal itu dengan menyiapkan orang-orang mereka. Contohnya
seperti mengajar secara alkitabiah, berbicara secara realistis tentang
hal-hal yang mudah dan yang sulit dalam kehidupan, memastikan bahwa di
gereja Anda ada budaya mendukung serta mendorong pertumbuhan rohani.
Jika staf Anda dan jemaat siap, ketika krisis menghantam, mereka akan
siap untuk menghadapinya. Jika Anda mampu menghadapi krisis dengan baik,
saat-saat tersebut bisa menjadi waktu yang luar biasa bagi pelayanan.
Kesalahan-kesalahan apa yang Anda lihat dilakukan oleh para pemimpin dalam menghadapi krisis?
Kesalahan
yang utama adalah tidak menghadapi situasi dengan sejujurnya. Sering
kali, orang-orang baik berniat memutarbalikkan kebenaran demi membuat
orang-orang merasa lebih baik. Jika para pemimpin terlalu banyak
memikirkan tentang "Bagaimana kita akan menangani hal ini?" mereka akan
menjadi seperti "Petugas Penanganan" situasi. Hal itu menjadi palsu.
Kita mulai merasa seolah-olah sudah menjadi tugas kita untuk
memanipulasi perasaan atau untuk menyingkirkan pengalaman orang-orang
dalam mencari jalan keluar.
Tantangannya adalah menangani situasi
tersebut secara jujur. Ini termasuk dapat dipercaya dan cermat dalam
menangani informasi. Dalam krisis, kita tidak boleh membiarkan diri
berspekulasi terhadap hal-hal yang informasinya tidak kita miliki.
Penting bagi para pemimpin untuk mengomunikasikan fakta-fakta dan
mencapai sebuah rencana komunikasi terpadu, yang terkait dengan tragedi
agar dapat diikuti oleh gereja. Hal ini membantu memastikan bahwa
kebenaran tidak berputar atau dibelokkan dalam kekacauan yang terjadi
setelah peristiwa traumatis.
Dalam sebuah Jurnal Kepemimpinan
sebelumnya, Anda membuat sebuah perbedaan antara berduka dan mengalami
trauma. Bagaimana keduanya berbeda? Bagaimana pemimpin gereja dapat
dengan tepat menanggapi kedua permasalahan?
Nah, kesedihan adalah
respons alami kita terhadap kehilangan yang bersifat selamanya. Dalam
situasi ini, kesedihan adalah normal. Meskipun sulit, itu merupakan
bagian dari kehidupan. Peran pendeta adalah membantu orang-orang agar
mampu melalui kesedihan mereka dan untuk menyatakan dukanya secara
benar. Dalam Alkitab, ada perkabungan memiliki peran yang sangat
spesifik. Pengkhotbah 7 berkata, "Pergi ke rumah duka lebih baik
daripada pergi ke rumah pesta ... karena muka muram membuat hati lega."
Itu tidak berarti kita ingin meratap. Akan tetapi, ketika kehilangan
yang mendalam terjadi, hal yang tepat untuk dilakukan adalah berkabung,
"tinggal" di rumah itu untuk sementara waktu.
Trauma adalah
sebuah peristiwa kehilangan yang merusak anggapan dan aturan-aturan umum
dalam kehidupan. Ketika nenek Anda meninggal di sebuah panti jompo, hal
itu biasanya membawa kesedihan. Ketika adik seseorang ditembak di
sebuah tempat parkir di pusat kota, itu adalah peristiwa traumatis.
Mereka memulai hari itu dengan asumsi bahwa mereka akan berbicara dengan
orang yang bersangkutan pada malam harinya, tetapi kemudian, semua itu
tiba-tiba hilang. Bencana alam, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri
merupakan contoh kehilangan traumatis. Menanggapi trauma sebagai seorang
pendeta, berarti bahwa Anda harus berjalan bersama orang-orang, baik
untuk melalui proses berduka maupun untuk menghadapi tanggapan mereka
terhadap pelanggaran yang terjadi pada orang-orang terdekat mereka, atau
asumsi-asumsi tentang kehidupan.
Anugerah dapat berarti hal-hal
yang lain juga, seperti dukungan langsung. Ini berarti bahwa orang-orang
dalam jemaat Anda bersedia menolong untuk membawa makanan, untuk
mengerjakan hal-hal kecil, dan sebagainya. Menunjukkan anugerah dengan
cara seperti ini, yaitu anugerah yang memulihkan harga diri, merupakan
pekerjaan kita yang paling penting.
Salah satu cara menunjukkan
kebenaran adalah dalam hal informasi. Dalam masa krisis, informasi
menjadi sangat kacau dalam tempo yang sangat cepat. Orang-orang
bertindak tergesa-gesa dan melenceng dari fakta dan informasi, dan itu
dapat menimbulkan rasa sakit dan kebingungan. Pemimpin dapat membantu
dengan cara berbagi informasi yang faktual, dan bekerja untuk memadamkan
berbagai gosip. Kebenaran juga memiliki hubungan dengan orang-orang
terkemuka dalam situasi sebenarnya. Kita perlu berdamai dengan realitas
dalam peristiwa traumatis.
Ketika krisis yang sangat besar
terjadi dan memengaruhi banyak orang, bahkan terhadap orang-orang yang
tidak terkait dengan orang-orang yang terlibat langsung, situasi
tersebut menjadi seperti gempa bumi. Tanah bergeser di bawah kaki
orang-orang, dan asumsi normal mereka tentang kehidupan telah dilanggar.
Retakan terbuka di tempat-tempat yang tak terduga dan di tempat-tempat
yang tidak Anda pikirkan akan terkena dampak peristiwa ini. Orang
mungkin akan meminta konseling pernikahan atau isu lain hanya karena
mereka merasa begitu terguncang. Ini sulit. Ini menantang. Tetapi, hal
itu juga merupakan kesempatan. Sebuah krisis merupakan titik keputusan.
Dan, sama seperti gempa bumi memungkinkan pembangunan kembali yang lebih
kuat dan lebih tinggi setelah bencana, krisis dapat menjadi waktu yang
menguatkan.
Bagaimana pemimpin peduli pada kesejahteraannya sendiri?
Sekali
lagi, sebarkan tugas ke orang-orang di sekeliling Anda. Delegasikan
tugas. Adalah penting untuk memastikan bahwa komunikasi sudah jelas
sehingga tidak ada orang atau hal kecil penting yang terlewatkan dalam
keretakan. Hal itu juga membantu para pemimpin untuk merasa yakin bahwa
mereka berada di tempat yang sehat selama situasi tersebut berlangsung.
Trauma dan krisis dapat mengakibatkan korban.
Dengan kata ini,
kita juga perlu memahami "trauma sekunder". Jika seseorang duduk dengan
seorang korban perkosaan dan mendengar cerita lengkap dari pelanggaran
semacam itu, manusia normal akan ikut merasakan trauma dari si korban.
Ini merupakan kehilangan yang seolah dialaminya sendiri.
Dengan
memikirkan hal-hal ini, kita perlu saling menjaga. Jika seorang staf
Anda baru-baru ini terlibat dalam pemakaman yang menyedihkan, dan
seminggu kemudian mereka memberi pendampingan pada seorang korban
trauma, dan segera setelah itu mereka bekerja dalam situasi di mana
terdapat kekerasan rumah tangga, orang tersebut telah berada di garis
depan pada banyak peristiwa buruk dalam jangka waktu yang pendek.
Seseorang perlu melangkah masuk dan mendukung orang itu, bahkan mungkin
meringankan orang itu dengan membantunya melakukan satu atau dua tugas
yang berat. Jika seorang staf atau sukarelawan di gereja Anda tidak
mencukupi, ini merupakan kesempatan untuk meminta bantuan dari
gereja-gereja lain di daerah Anda guna membantu pekerjaan pelayanan yang
lebih besar. Pastikan bahwa Anda dan jemaat Anda didukung dalam
masa-masa sulit ini. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs: Christianity Today
Alamat URL: http://www.christianitytoday.com/le/2013/february-online-only/are-you-ready-for-crisis.html?start=1
Judul asli artikel: Are You Ready for a Crisis?
Penulis: Mel Lawrenz
Tanggal akses: 1 Oktober 2013
Home
Leadership
Kepemimpinan Disaat Krisis
Kepemimpinan Disaat Krisis
Jumat, Februari 28, 20140 komentar

